A.
KONSEP DASAR BERBAHASA
Kemampuan berbahasa
(berkomunikasi) interpersonal adalah kecakapan yang harus dibawa individu dalam
melakukan interaksi dengan individu dalam melakukan interaksi dengan individu
lain atau sekelompok individu (Goldstein, 1982). Menurut French (dalam Rakhmat
1996), kemampuan interpersonal adalah apa yang digunakan seseorang ketika
berberbahasa (berkomunikasi) dan berhubungan dengan orang lain secara tatap
muka. Berbahasa (berkomunikasi) Sosial adalah mengisyaratkan bahwa
berbahasa (berkomunikasi) penting untuk membangun konsep diri, untuk
kelangsungan hidup, aktualisasi diri, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar
dari tekanan dan ketergantungan, antara lain lewat berbahasa (berkomunikasi)
yang menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Melalui berbahasa
(berkomunikasi) sosial kita bisa berkerja sama dengan anggota masyarakat
(keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, RW, desa, kota, dan negara
secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama Dalam kehidupannya, manusia
senantiasa terlibat dalam aktivitas berbahasa (berkomunikasi).
Memang apabila manusia dibandingkan dengan mahluk hidup
lainnya seperti hewan, ia tidak akan hidup sendiri. Seekor anak ayam, walaupun
tanpa induk, mampu mencari makan sendiri. Manusia tanpa manusia lainnya pasti
akan mati. Manusia tidak dikaruniai Tuhan dengan alat-alat fisik yang cukup
untuk hidup sendiri.
Dapat dikatakan bahwa didalam kehidupan berbahasa
(berkomunikasi) adalah persyaratan yang utama dalam kehidupan manusia. Tidak
ada manusia yang melepaskan hidupnya untuk berkomuikasi antar sesama. Dengan
seperti itu, berbahasa (berkomunikasi) sosial sangat penting dalam kehidupan
manusia pada umumnya untuk membantunya berinteraksi dengan sesama, karena
manusia tercipta sebagai mahluk sosial.
Karena sifat manusia yang selalu berubah-ubah hingga kini
belum dapat diselidiki dan dianalisis secara tuntas hubungan antara unsur-unsur
didalam masyarakat secara lebih mendalam dan terorganisir.
1.
Fungsi Berbahasa (berkomunikasi) Sosial
Orang yang
tidak pernah berberbahasa (berkomunikasi) dengan manusia bisa dipastikan akan
tersesat, karena ia tidak sempat menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial.
Berbahasa (berkomunikasi) yang memungkin individu membangun suatu kerangka
rujukan dan menggunakannya sebagai pantuan untuk menafsirkan, situasi apapun
yang ia hadapi. Berbahasa (berkomunikasi) pula yang memungkinkannya mempelajari
dan menerapkan strategi-strategi adaptif untuk mengatasi situasi-situasi
problematik yang ia masuki. Tanpa melibatkan diri dalam berbahasa
(berkomunikasi), seseorang tidak akan tahu bagaimanamakan, minum, berbicar
sebagai manusia
dan memperlakukan manusi lain secara beradap, karena cara-cara berprilaku
tersebut harus dipelajari lewat pengasuhan kluarga dan pergaulan dengan orang
lain yang intinya adalah berbahasa (berkomunikasi). Implasif adalah fungsi
berbahasa (berkomunikasi) sosial ini adalah fungsi berbahasa (berkomunikasi)
kultural.
Para
ilmuan sosial mengakui bahwa budaya dan berbahasa (berkomunikasi) itu mempunyai
hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian
dari perilaku berbahasa (berkomunikasi), dan pada gilirannya berbahasa
(berkomunikasi) pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan
budaya.
Fungsi
berbahasa (berkomunikasi) sosial bisa terbentuk dengan adanya pembentukan dari
dalam: pembentukan konsep diri, pernyataan eksistenssi diri dan untuk
kelangsungan hidup, memupuk hubungan & memperoleh kebahagiaan.
2.
Pembentukan konsep diri
Konsep
diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita
peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Manusia yang
tidak pernah berberbahasa (berkomunikasi) dengan manusia lainnya tidak mungkin
mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. kita sadar bahwa kita adalah
manusia karena orang-orang disekeliling kita menunjukkan kepada kita lewat
perilaku verban dan nonverbal mereka bahwa kita manusia. Bahkan kita pun tidak
akan pernah menyadari nama kita adalah “Badu” atau si “Mincreung”, bahwa kita
adalah lelaki, perrempuan, pintar atau menyenangkan, bila tidak ada orang-orang
disekitar kita yang menyebut kita demikian.
Melalui
berbahasa (berkomunikasi) dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai
siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. nda mencintai diri
anda bila anda telah dicintai, anda berpikir anda cerdas bila orang-orang
disekitar anda mengaggap anda cerdas, anda merasa anda tampan atau cantik bila
orang-orang disekitar anda juga mengatakan demikian. Konsep diri kita yang
paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, dan orang dekat lainnya
disekitar kita, termasuk kerabat. Mereka itulah yang disebut significant
others. Orang tua kita, atau siapapun yang memelihara kita pertama kalinya,
mengatakan kepada kita lewat ucapan dan tindakan mereka bahwa kita baik, bodoh,
cerdas nakal, rajin, ganteng, cantik, dan sebagainya. Merekalah yang mengajari
kita kata-kata pertama. Hingga derajad tertentu kita bagai kertas putih yang
dapat mereka tulisi apa saja atau tanah liat yang dapat mereka bentuk
sekehendak mereka.
Penddeknya
kita adalah “ciptaan” mereka. Sayangnya tidak semua orang tua menyadari hal
ini. Seorang ibu, ayah atau kakak boleh jadi mengeluarkan kata-kata kepada
anak: “Bodoh!,” Dasar anak nakal!,” “Penakut!,” bila hal itu kerap terjadi
sungguh itu akan merusak konsep diri anak yang pada gilirannya akan mereka
percayai.
Seorang
anak mungkin saja cerdas tetapi karena dianggap bodoh, ia akan surut melakukan
apa yang ia ingin lakukan, karena ia mengaggap dirinya demikian. Pada
gilirannya orang lain akan menganggap dirinya bodoh. Ini lah yang disebut
“nubuat yang dipenuhi sendiri” (self-fulfilling prophecy), yakni ramalan yang
menjadi kenyataan karena, sadar atau tidak, kita percaya dan mengatakan bahwa
ramalan itu akan menyadi kenyataan. Dalam proses menjadi dewasa, kita menerima
pesan dari orang-orang disekitar kita mengenai siapa diri kita dan harus
menjadi apa kita. Menjelang dewasa, kita menemui kesulitan memisahkan siapa
kita dari siapa kita menurut orang lain, dan konsep diri kita memang terkait
rumit dengan definisi yang diberikan orang lain kepada kita.
Meskipun
kita berupaya berperilaku sebagaimana yang diharapkanorang lain, kita tidak
pernah secara total memenuhi pengharapan orang lain tersebut. Akan tetapi,
ketika kita berupaya berinteraksi dengan mereka, pengharapan, kesan, dan citra
mereka tentang kita sangat mempengaruhi konsep diri kita, perilaku kita, dan
apa yang kita inginkan. Orang lain itu “mencetak” kita, dan setidaknya kita pun
mengasumsikan apa yang orang lain asumsikan mengenai kita. Berdasarkan
asumsi–asumsi itu, kita mulai memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan
orang lain. Bila permainan peran ini menjadi kebiasaan, kita pun
menginternalisasikannya. Kita menamakan peran-peran itu kepada diri kita
sebagai panduan untuk berperilaku. Kita menjadikannya bagian dari konsep diri
kita.
Dengan kata lain, kita merupakan cermin bagi
satu sama lainnya. Bayangkan saya pada cermin dikamar mandi menunjukkan apakah
saya sudah bercukur atau belum. Saya harus melihat pada anda siapa saya. Proses
pembentukan konsep diri itu dapat digambarkan secara sederhana. Konsep diri
kita tidak pernah terisolasi, melainkan bergantung, pada reaksi dan respon
orang lain. Dalam masa pembentukan konsep diri itu, kita sering mengujinya,
baik secara sadar ataupun secara tidak sadar. Kita dapat memperkirakan
perbedaan konsep diri seseorang dengan memperhatikan kata-kata yang orang
ucapkan, kita dapat menduga dari kelas atau golongan mana ia berasal. Sadar
akan pentingnya citra diri dimata orang lain, sebagian orang berbicara dengan
menggunakan banyak istilah asing, meskipun tatabahasa atau ucapannya keliru
yang pada kata sebenarnya juga tersedia pada bahasa Indonesia agar dipandang
intelektual dan modern.Untuk kawan2 yang ingin menDownload Filenya secara lengkap jangan Khawatir untuk masalah itu, kawan bisa MENDOWLOADnya Di SINI.!
No comments