Memahami Pembagian Hadits Ditinjau
Dari Segi Kualitas Dan Kuantitasnya
Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata
Fakultas Tarbiyah
Dosen Pengampu:Drs.KH, Akhirin Ali,M.Ag
Disusun Oleh:
Nama : Muhammad Ansori
NIM : 210205
Semester
: V(Lima) D
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’(INISNU) JEPARA 2012
Jln:Taman
Siswa No. 9 Tahunan Jepara
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Pembicaraan
tentang pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya ini tidak terlepas dari
pembahasan mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kualitasnya, yakni
dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis mutawatir memberikan
pengertian kepada yaqin bi al qath’I,bahwa Rasulullah SAW Benar-benar bersabda
bahwa , berbuat dan menyatukan ikrar (persetujuannya)-nya dihadapan para
sahabat, berdasarakan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka
bersama-sama sepakat berbuat dusta kepada Rasullah SAW.
Oleh
karena kebenaran sumber-sumbernya benar-benara telah meyakinkan,, maka ia harus
diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan,
baik terdapat sanad maupaun matannya. Berbeda dengan hadis ahad yang hanya
memberikan faedah zhanny(prasangka yang kuat akan kebenrannya), mengahruskan
kepada kita untuk mengadakan penyelidikan baik terhadap sanad maupun mtannya,
sehinga setatus hadis ahad tersebut menjadi jelas “apakah dapat diterima
sebagai hujjah atau ditolak.”
Dari uraian diatas saya akan mencoba
menjelaskan penjelasan yang lebih luas dalam makalah ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH:
Standart Kompetensi :
1. Menjelaskan
pembagian hadist ditinjau dari segi kualitasnya?
2. Menjelaskan
pembagian hadits ditinajau dari segi kuantitasnya?
BAB
II
LANDASAN TEORI
Kompetensi
Dasar :
1. Hadits Ditinjau Dari Segi
Kuantitasnya
Ulama’
berbeda pendapat tentang pembagian hadist ditinjau dari segi kualiatas dan
kuantitasnya ini. Pendapat pertama, yang menjadikan hadis Mansur berdiri
sendiri, tidak terrmasuk bagian dari hadits ahad, diannuat oleh sebagian ulama
ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al Jassa (305-370 H). Sedang ulama golongan
kedua dianut oleh kebanyakan ulama ushu
dan ulama kalam. Menurut mereka , hadist Mansur bukan merupakan hadis yang
berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad.
Mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu
mutawatir dan ahad.
1. Hadis
mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau
beriring-iringan ynag antara satu dengan yang lain ada jaraknya.[1]
sedangkan pengertiaan hadis mutawatir menurut istilah
terdapat beberapa definisi, antara lain:
Ø ‘’Hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta’’.
Ada
juga yang mengatakan:
Ø Hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap
tingkat(tabaqat).
Syarat- Syarat Hadis Mutawatir :
a) Diriwayatkan Oleh Sejumlah Besar
Perawi
Hadis
mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada
keyakinan bahwa meraka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai
masalah ini para ulam berbeda pendapat sesuaia dengan firman Allah, ada yang
menyebutkan jumlahnya 5 orang , 10 orang , 12 orang , 20 orang , 40 orang dan
ada yang 70 orang, penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan
diatas, sebetulanya bukan merupakan hal yang yang sangat prinsip ,sebab
persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapakan sedikt atau banyaknya jumlah hadis mutawatir
tersebut bukan terbatas pada jumlahnya , tetapi diukur pada tercapainya “Ilmu
Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tetapi melebihi batas minimal
yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka
sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis
mutawawatir.
b) Adanya Keseimbangan Antar Perawi
Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya, maksudanya bila suatu hadis
diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh
tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in tidak dapat digolongkan
sebagai hadis metawatir , sebab rawinya tidak seimbang antara tabaqat pertama
dengan thabaqat-thabaqat berikutnya[2].
c) Berdasarakan Tanggapan Pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut
harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya kalau berita mereka sampaikan
itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri, oleh
karena itu, abila berita itu merupakan hasila renungan, pemkiran atau rangkuman
dari suatau peristiwa lain ataupun hasil istimbat dalil yang lain, maka tidak
dapat dikatakan hadis mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam semesta
yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka
berita seperti ini tidak dapat dikatakan hadis mutawatir.[3]
o
Pembagian
Hadist Mutawatir
Menurut sebagian ulama hadits
mutawatir itu terbagi menjadi dua ,yaitu mutawatir lafdzi
dan mutawatir maknawi. Namun ada
juga yang memabaginya menjadi tiga yakni ditambah dengan hadis mutawatir amali.[4]
a. Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah
“hadis yang mutawatir periwatannya dalam satu lafdzi.
b. Mutawatir
Maknawi
Yang dimaksud hadis mutawatir maknawi adalah hadis
yang maknanya mutawatir, tetapi lafalnya tidak.[5]
c. Mutawatir Amali
Yang
dimaksud dengan mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah,
bahwa dia termasuk urusan agama dan telah muatwatir antara umat islam, bahwa Nabi
SAW menrjakannya, menyuruhanya, atau selaian dari itu dan pengertian ini sesuai
dengan ta’rif ijama’.
2. Hadis Ditinjau dari Segi Kualitasnya
Ditinjau
dari segi kualitasnya ulama’ ahli hadis membagi menjadi dua: yaitu hadist maqbul dan hadist mardud.
1.
Hadis Maqbul
Maqbul
menurut bahasa berarti ma’khus(yang di
ambil) dan mushaddaq( yang di benarkan
atau di terima).sedangkan menurut istilah adalah: Hadits yang telah sempurna
padanya,syarat-syarat penerimaan.
2.
Hadits Mardud
Mardud menurut
bahasa berarti “yang ditolak” atau yang tidak di terima”.
Sedangkan
mardud menurut istilah ialah “ Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau
sebagian syarat hadits maqbul”[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para
perawi hadits mutawatir tidak perlu di persoalkan , baik mengenai keadilan
maupun ke-dhabit-annya,sebab dengan adanya persyaratan yang begitu
ketat,sebagaimana telah di tetapkan di atas ,menjadikan mereka tidak mungkin
melakukan dusta.
B. Saran
Dengan makalah ini, kami buat yang mestinya tidak jauh dari
kekurangan dan kesalahan, sehingga saran maupun kritikan sangat kami harapkan.
Dan dalam dunia ini tidak ada hal yang sempurna begitu juga dengan makalah ini,
karena kesempurnaan itu milik Allah SWT. Akan tetapi harapan kami semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah dan para pembaca
Daftar Pustaka
Al-quran dan Terjemahannya , Proyek
Pengadaan Kitab Suci Alquran , Departemen agama RI
Asimi , Al-,Abdurrahman Muhammad
bin Qasim,Majmu’Fatawa
Jauziah, Al-Ibn Al-Qayyim,I’lam Al-Muwaqqi’in,jilid II,Mesir: Al
–Sa’adah,1955
[1]
Ahmad bin Muhammad AL-Fayummi, Al-
Mishbah Al- Munir AL –Syarh Al-kabir li al-Rafi’I, juz II, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1398 H/ 1978 M), hlm, 321
[2]
Jalal Al Din Ismail, Buhuts fi Ulum Al Hadis, (Mesir:
Maktabah Al Azhar, t. t), hlm. 114
[3]
Nur Al Din ltr, loc.cit
[4] Ahmad
Muhammad Al-Syakir,loc.cit
[5] Mahmud Al-Tahhan,loc.cit
[6] Ajjaj
Al-Khatib,op.cit.,hlm.303
No comments