BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan
seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah
kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran wacana,
eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang
berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas menempatkan hadis
sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur'an. Oleh karena itu dari
masa-kemasa para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap
tenaganya untuk melestarikan dan menyebarkan kepada generasi selanjutnya.
Mengingat pentingnya hadis dalam dunia Islam, maka kajian-kajian atas hadis
semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara
historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif demi
menjaga keotentikan hadis itu sendiri
Oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis akan menyajikan
pembahasan singkat tentang perkembangan hadis sebelum era kodifikasi dan sesudahnya,
dilanjutkan dengan pembahasan tentang pusat-pusat studi hadis dan para
tokoh-tokohnya secara rinci. Adapun metode yang akan dipakai dalam kajian ini
adalalah termasuk kategori penelitian literer atau study pustaka dengan objek
berupa naskah-naskah utama (primer), meski tidak menutup kemungkinan adanya
referensi lain sebagai bahan rujuakan sebagai sumber kedua (skunder) yang erat
kaitannya dengan persoalan yang akan dibahas.
Tujuan tulisan ini adalah untuk memahami cara rasul, sahabat, tabi’in, dan
tabi’in tabi’in dalam memelihara hadis dengan sangat berhati-hati dan bijaksana
sehingga dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya sebagai pusaka dari rasul
untuk umatnya dalam mengarungi kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
PUSAT-PUSAT STUDI HADIST DAN PARA TOKOHNYA PADA MASA AWAL
ISLAM
B. PERKEMBANGAN HADIS SEBELUM
ERA KODIFIKASI.
1. Masa Rasulullah.
Membicarakan sejarah pertumbuhan hadis pada masa ini secara tidak
langsung akan mengungkapkan cara-cara rasullullah SAW. Dalam membina umatnya
selama 23 tahun, dimana pada masa ini merupakan kurun waktu turunnya al-qur’an
sekaligus fungsi utama hadis untuk menjelaskannya melalui perkataan, perbuatan
dan ketetapan dari nabi untuk dijadikan pedoman bagi kegiatan amaliyah dan
ubudiyah mereka sehari-hari. Ketika rasullah SAW. masih hidup umat Islam dapat
memperoleh hadis langsung dari beliau sebagai sumber hadis melalui beberapa
cara yang digunakan dalam penyampaiaannya, sebagaimana disampaikan Ibnu Mas’ud
yang diriwayatakan oleh Bukhari:
Pertama: melalui majlis ta’lim dimana para sahabat memperoleh banyak
peluang untuk menerima hadis sehingga ada motifasi untuk selalu mengikuti
kegiatan ini.
Kedua: dalam banyak kesempatan nabi menyampaikan hadisnya melalui
beberapa sahabat tertentu untuk disampaikan kepada sahabat yang lain. Untuk
hal-hal mengenai urusan rumah tangga nabi lebih banyak menyampaikan kepada
istri-istrinya sehingga jika para sahabat segan bertanya kepada nabi mereka
bisa bertanya kepada istri-istri beliau.
Ketiga: melalui ceramah umum oleh nabi yang dilakukan ditempat-tempat
terbuka. Namun pada masa ini keberadaan hadis belum mendapat perhatian
sepenuhnya sebagaimana al-qur’an dikarenakan para sahabat lebih banyak
mencurahkan perhatiaannya terhadap alquran dengan menghafal dan menuliskannya
sebagaimana perintah rasul. Kecenderungan para sahabat untuk memelihara
al-qur’an dengan cara menghafal ataupun mencatatnya menyebabkan banyak menyita
waktu mereka sehingga menyebabkan minimnya pencatatan hadis pada masa
rasulullah. Akan tetapi kita tidak dapat mengikuti pendapat mereka yang
mengatakan bahwa sedikitnya pencatatan pada masa rasul dikarenakan langkanya
sarana penulisan. Memang boleh jadi hal itu merupakan salah satu faktor, tetapi
bukan satu-satunya penyebab dibiarkannya hadis luput dari pencatatan. Nyatanya,
dengan kondisi yang sama, para sahabat sanggup menghimpun dan menulis seluruh
isi al-qur’an pada daun-daun, pelepah korma, papan, pelana-pelana,
potongan-potongan kulit, dan sebagainya. Andaikata faktor psikologis yang
mendorong mereka membukukan hadis sama kuatnya dengan dorongan untuk menuslis
al-qur’an tentu mereka akan mengupayakan dengan segala daya berbagai sarana
yang diperlukan. Hanya saja, atas kehendak mereka sendiri dan petunjuk nabinya,
cara mereka menghimpun hadis berbeda jauh dengan cara mereka menghimpun
al-qur’an.[1]
Namun disamping itu minimnya pencatatan hadis nabi juga dikarenakan larangan
dari nabi, karena dikhawatirkan timbul kerancuan antara sabda, penjelasan, dan
perilaku beliau dengan al-qur’an, apalagi jika semua ini ditulis pada
lembaran-lembaran yang sama. Nabi bersabda:
لاتكتبعنيشيأالاالقرأن, ومنكتبعنيشيأغيرالقرأنفليمحهوحدثواعنيولاحرج,
ومنكذبعلىمتعمدافليتبوءمقعدهمنالنار.
“Janganlah kalian tulis apa yang datang dariku. Barang siapa menulis
dariku selain al-qur’an hendaklah ia menghapusnya. Ceritakan apa yang kalaian
dengar dariku, itu tidak mengapa. Tetapi barang siapa membuat kedustaan atasku
secara sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan, maka hendaklah ia menduduki
tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim).
Larangan penulisan hadits tersebut seperti yang sudah kami singgung
diatas dalam rangka menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis
wahyu memasukkan hadis ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-quran, karena
mereka menganggap apa yang semua perkataan, penjelasan, dan perilaku rasul
merupakan bagian daripada wahyu, sehingga tidak menutup kemungkinan akan
terjadi pencampur adukan antara qur’an dan hadis.
Sekalipun ada larangan nabi untuk menulis hadis namun ada beberapa
sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis seperti:
a.
Abdullah bin ‘amr bin Ash, ia memiliki catatan hadis yang
menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasul. Menurut suatu riwayat diceritakan
bahwa orang-orang Quraish mengkeritiki sikap Abdullah bin Amr yang selalu
menulis apa yang datang dari rasul, mereka berkata “Engkau menuliskan apa yang
datang dari rasul padahal rasul itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan
marah” kritikan ini kemudian disampaikan kepada rasul, maka beliau bersabda:
“ Tulislah demi dzat yang diriku berada ditangannya, tidak ada yang
keluar darinya kecuali yang benar.” (HR. Bukhari).
Menurut pengakuannya dia mempunyai kurang lebih seribu catatan hadis yang
diterima langsung dari rasul ketika ia berada disisinya tanpa ada orang lain
yang menemani. Dan catatan-catatan ini kemudian dikenala dengan nama As-sahifah
As-sadiqah.
b. Jabir
bin Abdillah bin Amr Al-anshari (w 78 H)ia memiliki catatan hadits dari
rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadits haditsnya kemudian diriwayatkan
oleh Muslim.catatan ini dikenal dengan sahifah jabir.
c. Abu
Hurairah Ad Dausi (w 58 H) Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al
sahifah al sahihah dan hasil karyanya ini kemudian diwariskan kepada puteranya
yang bernama Hammam.
d. Abu
Syah (Umar Bin Sa’ad Al Anmari) Seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada
rasulullah agar dicatatkan hadits yang disampaikan beliau ketika berpidato pada
peristiwa fathu makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan
oleh Bani Khuza’ah terhadap salah seorang penduduk Bani Laits. Kemudian
Rasulullah bersabda :
“kalian tuliskan
untuk Abu syah”.
Di samping nama nama diatas,
masih banyak lagi nama shahabat lainnya yang memiliki catatan hadis dan
dibenarkan oleh rasulullah seperti :Rafi’I Bin Khodij, ‘Amr Bin Hazm, Ali bin
Abi Tholib, dan Ibnu Mas’ud.[2]
2. Masa Sahabat dan Tabi’in.
Menjelang masa akhir hayatnya, Rasulullah berpesan kepada
para sahabat agar tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits sekaligus
mengajarkannya kepada seluruh generasi generasi selanjutnya, sebagaimana beliau
bersabda:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka(alquran dan hadis), jika
kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat.” (HR. Hakim).
Setelah Nabi wafat, Islam mampu mengadakan ekspansi penaklukan besar-besaran,
sehingga dalam waktu yang relatif singkat beberapa wilayah telah berada di
bawah kekuasaan Islam. Arah Syam meliputi Palestina, Yordania, Siria, dan
Libanon. Irak dikuasai pada tahun 17 H, dan Mesir pada tahun 20 H. Orang Islam
menyeberang sungai Efrat sesudah tadinya menaklukkan Persia pada tahun 21 H,
dan sampai di samarkand pada tahun 56 H. Ke arah Barat, melalui jalur Afrika,
orang Islam memasuki Adalusia (Spanyol) pada tahun 93 H. Perbatasan Cina
dijangkau orang Islam melalui jalur darat pada tahun 96 H.[3]
Dengan perkembangan kekuasaan Islam yang begitu luas, maka tidak dapat
dielakkan bahwa para ulama, tak terkecuali ulama Hadis harus segera disebar
kedaerah-daerah yang baru ditaklukkan sebagai penyambung lidah Rasulullah dalam
rangka penyebaran agama Islam. Adapun sistem periwayatan hadis pada masa ini
dilakukan melalui dua cara, yakni: Pertama, dengan lafadz yang masih asli dari
Rasulullah. Periwayatan dengan cara ini hanya bisa dilakukan apabila mereka
benar benar ingat dan hafal hadis baik secara lafdzi atau ma’nawi sesuai dengan
yang sudah diterima dari Nabi.
Kedua, dengan maknanya saja namun redaksinya berbeda-beda sesuai dengan
perawinya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak mampu mengingat secara persis
lafadz aslinya. Periwayatan dengan cara yang kedua ini bisa diterima karena
Rasulullah tidak melarang periwayatan hadis secara maknawi asalkan kandungan
Hadits tersebut sesuai dengan apa yang telah dikehendaki oleh beliau. Namun,
pada masa ini (sahabat dan tabi’in) keadaan masih belum juga berubah. Yakni,
masih seperti kondisi yang ada di zaman Nabi dan mengakibatkan perkembangan
Hadis berjalan sangat lamban. Walaupun demikian bukan berarti mereka (sahabat
dan tabi’in) lalai dan mengenyampingkan usaha pememelihara Hadis, ini terbukti
dengan munculnya pusat-pusat studi pembinaan hadis di berbagai tempat seperti :
Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam (Siria), Mesir, Yaman, Khurasan dan
negara-negara lain lain. Berikut ini keterangan lebih lanjut:
a. Madinah:
Madinah dikenal juga dengan Dar al-Hijrah, sebuah
tempat dimana Nabi Hijrah untuk selanjutnya menetap di sana. Sebagai ibu kota
kekuasaan Islam di masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, maka kota ini menjadi
pusat penyebaran agama Islam termasuk studi Hadis.
Yang menjadi pusat pembelajaran hadits di
kota Madinah adalah , Abu Hurairah, ‘Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah Bin Umar,
Abu Sa’id al-Khudri, Zaid Bin Tsabit –terkenal pemahamannya terhadap al-Qur’an
kerena merupakan sekertaris Nabi untuk menuliskan al-Qur’an-, dan lain-lain.
Sedangkan para tabi’in
yang menjadi murid di kota ini diantaranya adalah: Sa’id Ibn al-Musayyab,
‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab al-Zuhri, ‘Ubaidillah Ibnu ‘Utbah bin Mas’ud,
Salim Ibnu Abdullah bin Umar, Muhammad al-Munkadir, dan lain-lain.[4]
b. Makkah:
Setelah menaklukan kota
Makkah, Rasulullah saw. menempatkan Mu’az bin Jabal. Sampai-sampai beliau
disebut-sebut sebagai orang yang paling mengerti tentang halal dan haram. Kota
ini adalah tempat yang memiliki peran penting dalam pertukaran kebudayaan dan
penyebaran hadis yang terjadi pada musim haji, dimana umat islam dari segala
penjuru melaksanakan ibadah haji sekaligus menimba ilmu dari para sahabat dan
tabi’in untuk kemudian apa yang diperoleh dari kota ini disebarkan di daerahnya
masing masing.[5][5]
Adapun para sahabat
yang membina hadis (guru) di kota ini adalah : Mu’adz bin Jabal, Atab Bin Asid,
Haris bin Hisyam, Utsman bin Talhah, dan Uqbah bin Haris.
Sedangkan murid-murid
madrasah ini diantaranya adalah para tabi’in tercatat nama : Ikrimah, Mujahid
Bin Jabir, Atha’ Bin Abi Robah, dan Thowus Bin Kaisan[6]
c. Kufah:
Banyak sahabat Nabi
yang datang ke kota ini, utamanya di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab,
ketika menaklukkan Irak. Kota Kufah dan Bahsrah selanjutnya menjadi pintu
gerbang perluasan Islam ke Khurasan, Persia, dan India.
Adapun para sahabat
yang membina hadis di daerah tersebut adalah :
Ali bin Abi Thalib, Sa’ad Bin Abi Waqosh, Sa’id Ibnu Zaid bin ‘Amr bin
Nufail, Abdullah bin Mas’ud. Sahabat
yang disebut namanya terakhir ini telah mengharumkan nama Kufah sebagai kota
Islam karena keberhasilannya menyelenggarakan pengajaran Hadis dan Fiqh.
Sedangkan murid-murid
madrasah Kufah diantaranya adalah: Amir bin Syarahil, Sa’id bin Jabir al-Asasi,
Ibrahim an-Nakha’i, Abu Ishaq al-Sabi’i, Abdul malik Ibnu Umar, dan lain-lain.[7]
d. Bashrah:
Sahabat Nabi yang
melawat dan tinggal di Bashrah antara lain Anas bin Malik, seorang imam hadis
di sana, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin ‘Abbas, ‘Utbah Ibnu Gazwan, Imron
bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qal Ibnu Yasar, Abdurrahman Ibnu Samurah,
dan lain-lain.
Sedangkan tabi’in hasil
didikan para sahabat di sana antara lain: Hasan al-Bishri, ia sempat berjumpa
dengan limaratusan sahabat Nabi, kemudian Muhammad Ibnu Sirin, Ayyub
al-Sakhtiyani, Yunus Ibnu ‘Ubaid, Abdullah Ibnu ‘Aun, ‘Asyim Ibnu Sulaiamn
al-Ahwal, dan lain-lain.[8]
e. Syam:
Sebagaimana telah
diketahui bahwa Syam adalah wilayah kekuasaan Mu’awiyah ketika ia menjabat
sebagai Gubernur di sana. Sehingga, ibu kota pemerintahannya pun juga
ditetapkan di sana. Maka tidak mengherankan kalau di sana terdapat banyak
sahabat Nabi. Konon, Yazid bin Abi Sufyan pernah menulis surat kepada khalifah
Umar bin Khattab agar mengirim ulama untuk mengajari agama penduduk Syam. Maka
diutuslah Mu’adz bin Jabal sebagai salau satu guru madrasah Syam, selain itu
adalah ‘Ubadah bin Shamit, dan Abu Darda’. Sahabat Nabi yang akhirnya menjadi
penduduk Syam antara lain adalah Abu ‘Ubaidah bin Jarah, Bilal bin Rabah,
Syuraihil bin Hasan, Khalid bin Walid, ‘Iyad bin Ghanam, Fadhl bin Abbas bin
Abdul Mutallib, dan lain-lain.
Sedangkan tabi’in yang
meriwayatkan Hadis dari para sahabat diatas antara lain adalah: Salim bin
Abdillah al-Maharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiamn ad-Darani, dan
lain-lain.[9]
f. Mesir:
Orang Islam masuk Mesir
pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dengan pimpinan ‘Amr bin ‘Ash. Ia
diiringi oleh sahabat dalam jumlah besar.
Sahabat Nabi yang menjadi pembina
di kota ini diantaranya adalah: Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ‘Uqbah bin ‘Amir
al-Juhanni, Kharijah bin Hadzafah, ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, Abdullah
bin Harist, Abu Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.
Sedangkan murid-murid
madrasah ini antara lain adalah: Yazid bin Abi Habib, Umar bin al-Harits, Khair
bin Nu’aim, Abdullah bin Sulaiman at-Tawil, Adullah bin Syuraih al-Ghafiqi, dan
lain-lain. Sedangkan Yazid bin Abi Habib adalah orang yang punya pengaruh besar
dalam penyiaran Hadis di sana. Banyak murid berguru kepadanya, seperti al-Laits
Ibnu Sa’ad, Abdullah bin Luhai’ah, dan lain-lain.[10]
g. Yaman:
Sebagaimana telah
diketahui bahwa pada masa Rasulullah Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari
telah diutus oleh beliau untuk menjadi ulama di sana guna menyebarkan syiar
Islam. Selain kedua sahabat tersebut masih banyak lagi yang lainnya.
Sedangkan murid-murid
mereka diantaranya adalah, Hamam, Wahab bin Munabbah, Thawus sekaligus anaknya,
kemudian Ma’mar bin Rasyid, Abdurrazzaq bin Hamam beserta sahabat-sahabtnya.[11]
h. Khurasan:
Para sahabat yang
terjun langsung kenegara ini sekaligus menjadi guru penduduk daerah ini
diantaranya adalah: Buraidah bin Hushaib al-Aslami, Abu Barzah al-Aslami, Hakam
bin ‘Amr al-Ghaffari, Abdullah bin Khazim al-Aslami, Qasim bin Abbas dan lain
sebagainya.
Madrasah Khurasan ini
telah berhasil mencetak murid-murid yang terkenal dalam bidang Hadis Nabi yang
tersebar diberbagai wilayah diantaranya adalah:
1) Wilayah Bukhari muncul berbagai murid yang
handal dalam bidang Hadis seperti, Isa bin Musa, Ahmad bin Hafs, Muhammad bin
Salam, Abdullah bin Muhammad al-Sandi, Imam Bukhari.
2) Wilayah Samarqandi muncul
beberapa nama, yaitu Imam Darimi, Imam Marwazi.
3) Sedangkan di wilayah Qiryab muncul banyak
sekali ulama seperti, Muhammad bin Yusuf al-Qiryabi, Qadli Ja’far al-Qiryabi,
dan lain-lainnya.[12]
i. Syiria
Periwayatan di Syiria
ini dilakukan oleh Umar Bin Abdul Aziz yang telah membangu hubungan antara
Madinah dan Damaskus. Perawi lain yang bisa diidentifikasi meriwayatkan hadits
di Syiria adalah Mu’adz Bin Jabal, Ubadah Bin As Samit. Kedua orang ini
terkenal dengan periwayatan hadits yang berhubungan dengan bidang Fiqh- dan Abu
Darda’.[13]
Demikianlah sejarah perkembangan hadis pada masa rasul, sahabat, dan
tabii’n yang mempunyai karakteristik berbeda pada setiap generasi dalam
menyebarkannya dikarenakan perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami
berbagai hambatan dan persoalan yang tidak sama. Yakni penyebaran hadis pada
masa rasul dan sahabat belum mampu berkembang secara pesat dikarenakan pelayanan
dan perhatian mereka sebagian besar tertuju kepada pemeliharaan dan penyebaran
al-qur’an. sehingga perhatian serius terhadap hadis nabi dimulai pada masa
sahabat kecil dan tabi’in dimana permasalahan sosial kemasyarakatan yang mereka
hadapi semakin kompleks, sehingga dalam penyelesaiannya membutuhkan petunjuk
praktis yang pernah dikerjakan oleh nabi atau status hukum yang telah
diciptakannya. Maka tidak sedikit para sahabat kecil dan tabi’in menghabiskan
waktu, materi, dan tenaga untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis rasul dari
para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat
tinggalnya sudah mulai bertebaran diberbagai pelosok.
3. Metode Mengajarkan Hadis.
Dalam bab ini akan digambarkan suatu bentuk kegiatan tranformasi Hadis
dari seorang guru kepada muridnya. Akan tetapi perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa apa yang diterangkan dalam bab ini hanyalah gambaran yang bersifat
global, karena pada priode ini sistim pengajaran yang teratur belum ditemukan.
Sistim belajar mengajar pada waktu itu masih bersifat bebas, yaitu murid bebas
dalam memilih guru tanpa ada peraturan yang mengikat, begitupula sang guru
bebas menerima ataupun menolak murid sesuai dengan keinginannya yang mempunyai
dasar tertentu. Dan jenis-jenis pendidikan dan metode mengajar, namun bukan
berarti tidak ada metode-metode lain di luar itu. Sebab metode-metode yang akan
kami sebutkan disini merupakan sisitim belajar-mengajar yang populer pada
masanya. Setelah berakhirnya priode ini (sebelum kodifikasi) motode-metode
belajar mengajar masih tetap digunakan, hanya saja sistemnya lebih
disempurnakan dari priode sebelumnya.
Dalam mengajarkan Hadis, secara umum ada beberapa metode yang populer
digunakan pada saat itu:[14]
a. Mengajarkan Hadis secara
lisan
Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad kedua hijri dan
berlangsung lama sekali, akan tetapi dalam lingkup yang sangan sempit. Para
murid disaat itu tinggal bersama guru-gurunya dalam waktu yang lama, dan dengan
cara inilah mereka memperoleh Hadis dari para gurunya. Sebagai contoh:
1) Tsabit bin Aslam al-Bunani, ia menjadi kawan Anas selama empat puluh
tahun.
2) Harmalah
bin Yahya, menurut al-Dzahabi ia adalah periwayat Ibnu Wahb, sekaligus sahabat
imam Syafi’i
3) Hamid bin Mas’adah, ia menjadi kawan Husyaim
4) Abdullah bin Musa, ia menjadi rawi dari Sa’id bin Abu ‘Arubah
b. Membacakan Hadis dari suatu
Kitab.
Metode dengan cara membacakan hadis dari suatu kitab ini terdapat tiga
macam:
1) Guru membacakan kitabnya sendiri, sedang murid mendengarkannya.
2) Guru membacakan kitab orang lain, sedang murid mendengarkannya.
3) Murid membacakan suatu kitab, sedang guru mendengarkannya.
c. Metode tanya-jawab.
Sistim atraf (menuliskan pangkal Hadis saja) juga dipakai dalam
pengajaran Hadis dengan metode tanya-jawab, di mana murid membacakan pangkal
dari suatu Hadis, kemudian gurunya meneruskan Hadis itu selengkapnya. Seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Sirin. Ia berkata “Saya bertemu Abidah dengan membawa
kitab atraf Hadis, lalu kutanyakan hal itu kepadanya”
d. Metode imla’
Pada mulanya, metode ini kurang relevan dalam mempelajari Hadis. Sebab
murid dapat saja memperoleh Hadis yang banyak dalam waktu yang singkat. Dan
barangkali al-Zuhri adalah orang yang paling banyak mengunakan metode imla’
ini. Namun sejumlah ahli Hadis ada yang tidak suka apabila ada murud yang
menulis pada waktu pelajaran Hadis disampaikan. Misalnya Sulaiman bin Tarkham,
dan Fitr bin Khalifah. Keduanya tidak pernah membiarkan seorangpun menulis
didepannya.
C. PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA
KODIFIKASI.
Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah
pembukuan hadis secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah
seorang pemimpin kepala negara dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai
keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi pada masa
rasulullah SAW. yang dilakukan secara individu atau untuk kepentingan pribadi.
Usaha ini mulai direalisasikan pada masa pemerintahan kalifah Umar bin Abdul
Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayah), melalui instruksinya kepada walikota
Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Bin ‘Amr bin Hazm yang berbunyi “ Tulislah
untukku hadis rasullullah SAW. yang ada padamu melalui hadis ‘Amrah (binti
Abdurrahman) sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu.” (riwayat
Al-Darimy).
Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik
yang ada pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah.
Disamping itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para
pegawainya diseluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi suratnya
kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya ialah
seorang alim di Hijaz yang bernama Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri
al-Madani (124H), yang menghimpun hadis dalam sebuah kitab. Khalifah lalu
mengirimkan catatan itu kesetiap penjuru wilayahnya.[15][15]
Menurut para ulama, hadis-hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm masih
kurang lengkap, sedangkan hadis-hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri
dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in
ini lenyap sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang.[16]
Para sarjana Hadis, seperti, ‘Ajjaj al-Khatib, Mustafa Husni as-Siba’i,
muhammad jamaluddin al-Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafaf, dan
lain-lain, menemukan dokumen yang bersumber dari imam Malik bin Anas bahwa
kodifikasi Hadis ini adalah atas prakarsa Khalifah Umar bin Abd Aziz dengan
menugaskan kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dan Ibnu Hazm untuk merealisasikannya. Begitu
juga Umar bin Abd Aziz menugaskan kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru
untuk ikut serta membantu pelaksanaan kodifikasi Hadis Nabi tsb.[17]
1. Latar Belakang Munculnya Usaha
Kodifikasi.
Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadis pada periode ini
dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah, kekhawatiran akan
hilangnya hadis-hadis nabi disebabkan meninggalnya para sahabat dan tabi’in
yang benar-benar ahli dibidangnya sehingga jumlah mereka semakin hari semakin
sedikit. Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadis
sesuai dengan petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari nabi. Disamping
itu pergolakan politik pada masa sahabat
setelah terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan umat Islam kepada
beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif
kepada otentitas hadis-hadis nabi dengan munculnya hadis-hadis palsu yang
sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok
sekaligus untuk mempertahankan idiologi golongannya demi mempertahankan madzhab
mereka. Demikianlah persoalan yang menentukan bangkitnya semangat para muslim
khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah untuk segera mengambil tindakan
positif guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan dengan cara
membukukannya.
2. Sistematika Kodifikasi Hadis
Pada Abad Kedua.
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadis priode awal
kodifikasi, pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui
sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif masih
muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi dengan
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum
mengklasifikasi hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama
pada periode ini masih bercampur aduk antara hadis dengan fatwa sahabat dan
tabi’in. walhasil, bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada masa ini
belum di pilah-pilah antara hadis marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadis
sahih, hasan dan dha’if.[18]
Namun tidak berarti semua ulama hadis pada masa ini tidak ada yang membukukan
hadis dengan lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka telah
mempunyai inisiatif untuk menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang
mempunyai ide cemerlang mengumpulkan hadis-hadis berhubungan dengan masalah
talak kedalam sebuah kitab. Begitu juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya
menghimpun hadis-hadis dari nabi kedalam sebuah kitab atas instruksi dari Umar
bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain hadis nabi SAW saja.”
Kemudian pembukuan hadis berkembang pesat di mana-mana, seperti dikota
Makkah hadis telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh
Sa’id bin Abi ‘Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad
bin Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu Amr al-Auza’I dan
begitu seterusnya.[19]
3. Masa Pengembangan Sistem
kodifikasi Hadis.
Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha mengembangkan
sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, usaha
ini kemudian memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan memisahkannya
dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka membukukan semata-mata dari
hadis rasulullah. Masa penyaringan hadis ini terjadi ketika pemerintahan
dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khu-susnya sejak masa Al-Makmum sampai dengan
Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini karena
pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin (kodifikasi) para ulama belum
berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqtu’ dari hadis marfu’.
Begitupula halnya dengan memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang
shahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih. Pada
masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang
diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil
memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf
dan yang maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih
ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka.[20]
Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya bermunculan
berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti munculnya kutub
as-sittah yang hanya memuat hadis-hadis nabi yang sahih yaitu:
a. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H)
b. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H)
c. As-sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H)
d. As-sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H)
e. As-sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H)
f. As-sunan kitab karya Ibnu Majah (207-273 H)
4. Masa Penyempurnaan Sistem
kodifikasi Hadis (abad ke-5 dan seterusnya).
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan hadis dari
tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang signifikan, hal ini
dikarenakan usaha keras dari para pendahulu yang mencurahkan segenap daya dan
upaya mereka demi melestarikan hadis nabi. Mereka berlomba-lomba untuk
menemukan sistem yang baik dalam membukukan hadis mulai dari proses pembukuan
yang masih acak hingga berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan
hadis yang lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung
lebih menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara mengklasifikasikannya
dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan kandungan dan sifatnya kedalam
sebuah buku. Disamping itu mereka memberikan pen-syarahan (uraian) dan
meringkas kitab-kitab hadis yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya.
Yakni usaha ulama hadis pada masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem
pembukuan hadis dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang
sudah ada, sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:
a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi
(384-458 H.)
b. Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).
c. Nailul
Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari
kitab Muntaqal Akhbar, karya Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
Kedua, kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, meliputi:
a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-Mundziry
(656 H).
b. Dalil
al-Fatihin, sebagai Syarah dari kitab
Riyadussalihin, karya Muhammad Ibnu Allan al-Siddiqy (1057 H).
Ketiga, kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:
a. Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin
Suyuthi (849-911 H).
b. Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya
sayyid Abdul Ghani.
c. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya
Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing
d. Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc[21]
Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan. Dengan
demikian hadis nabi telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah
pembukuannya sebagai upaya dari tanggung jawab generasi penerus untuk selalu
menjaga dan melestarikan pusaka yang telah diberikan oleh nabi Muhammad kepada
umatnya.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah hadis nabi telah melewati perjalanan panjang, dimana setiap
periode mempunyai jasa begitu besar terhadap penyebaran dan perkembangan hadis
sebelum sampai dalam keadaan baik ketangan kita sekarang ini. Percetakan modern
juga ikut berjasa dalam membantu penyebaran warisan yang agung ini. Oleh karena
itu dari pembahasa-pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal
diantaranya:
1. Adanya larangan dan
perintah menulis hadis oleh nabi pada priode awal yang terkesan sangat rancu
dan bertolak belakang, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan.
Sebenarnya larangan menulis hadis pada priode nabi bersifat umum, karena
sabdanya memang ditujukan kepada para sahabat pada umumnya. Namun diantara
mereka ada yang terpercaya, ada yang baik hafalannya, dan ada yang bagus
tulisannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, rasulullah memberi izin khusus
kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan akan situasi, kondisi
dan sifat pribadi sahabat.[22]
2. Kegigihan para sahabat,
tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga, melestarikan, dan menyebarkan dua
wasiat yang diwariskan oleh nabi yang berupa al-qur’an dan hadis sehingga
sampai kepada generasi sesudahnya.
3. Dalam setiap perubahan
dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik yang lebih sempurna.
4. Tugas kita sebagai generasi
penerus adalah menjaga dan melestarikan kedua pusaka itu dan mengajarkannya
kepada generasi-sesuadah kita.
Di penghujung tulisan ini kami berharap semoga kita semua mampu menjaga
dan mengamalkan perintah-perintah agama yang terkandung di dalamnya sehingga
kita bisa menjadi orang-orang yang beruntung dan mendapat petunjuk-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Azami. Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif,
1974.
Hilwah. Mahmud Abdul Kholik, Manahijun Nubala’ fi al-Riwayah wa
al-Tahdis, Kairo: Dar al-Kutub, 2002.
Juynboll, G.H.A., Muslim Tradition, London: Canbridge University, 1983.
Khatib. Muhammad ‘Ujjaj Al-, As sunnah Qabla Tadwin, Kairo: Percetakan
Wahbah, 1963.
Mudasir. H., ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami,
Kairo: Darussalam, 1998.
Salih. Subhi as-, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Zuhri. MUH., Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2003.
[1]Subhi as-Salih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2007), hlm.34.
[2]H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka
Setia, 2005), hlm. 91-93.
[3]Muh. Zuhri, Hadis Nabi,
Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 42-43.
[4]Ibid., hlm. 43.
[5]‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin,
(Kairo: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 166.
[6]H Mudasir, Ilmu..., hlm. 102.
[7]Muh. Zuhri, Hadis..., hlm. 44.
[8]Ibid., hlm. 44.
[9]Ibid., hlm. 44.
[10]Ibid., hlm. 45.
[11]Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib,
As- Sunnah..., hlm. 173.
[12]Ibid., hlm. 173-174.
[13]G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, (London:
Canbridge University, 1983), hlm. 44.
[14]Muhammad Mustafa Azami, Hadis
Nabawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),
hlm. 454.
[15]Subhi as-Salih, Membahas...,
hlm. 57.
[16]H Mudasir, Ilmu..., hlm. 106.
[17]Muh. Zuhri, Hadis…, hlm. 54.
[18]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 55.
[19]Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah
wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Darussalam, 1998), hlm.
104-105.
[20]H Mudasir, Ilmu..., hlm. 109.
[21]Fatchur Rahman, Ikhtisar..., hlm. 60.
[22]Subhi as-Salih, Membahas..., hlm. 37.
No comments